Tanggal 1 Januari 2010 lalu, secara resmi CAFTA (China-ASEAN Free Trade Agreement) diberlakukan. Itu artinya barang-barang dari China dan negara-negara anggota ASEAN lainnya bebas masuk ke Indonesia dan begitu juga sebaliknya. Namun berlakunya CAFTA menimbulkan banyak kekhawatiran bagi masyarakat di dalam negeri. Hal ini disebabkan karena kurang siapnya pemerintah dalam menyambut diberlakukannya CAFTA, terutama dalam mengantisipasi serbuan barang-barang produk China yang terkenal murah dengan kualitas yang juga lebih baik bila dibandingkan dengan produk lokal. Dampak nyata dari serbuan ini adalah ditutupnya beberapa industri manufaktur akibat tidak mampu bersaing sehingga dikhawatirkan akan memperbanyak jumlah pengangguran yang memang saat ini juga sudah banyak.
Banyak usulan yang dikemukan untuk mengantisipasi hal tersebut. Salah satu usulan untuk mengantisipasi dampak negatif diberlakukannya CAFTA adalah memblokir produk-produk tertentu yang akan mengancam kelangsungan produk-produk serupa buatan lokal, seperti produk pertanian dan tekstil, selama kurun waktu tertentu untuk memberi kesempatan pada industri nasional mempersiapkan persaingan yang ketat. Usulan lain yang sempat mengemuka adalah pemerintah memberlakukan standar nasional Indonesia (SNI) untuk seluruh produk impor serta melakukan labelisasi atas produk-produk lokal dan impor. Dengan menerapkan SNI diharapkan hanya produk-produk berkualitas yang dapat masuk ke dalam negeri serta mengurangi bahaya yang ditimbulkan dari mengkonsumsi produk yang diproduksi secara asal-asalan. Sementara penerapan labelisasi produk mempermudah konsumen untuk membedakan mana produk lokal dan mana produk impor. Usulan yang berkaitan dengan pengurangan ‘biaya tinggi’ juga dikemukan oleh sebagian kalangan, karena hal ini yang menyebabkan harga produk dalam negeri yang kalah murah dengan produk impor terutama dari China.
Memang setiap diberlakukannya sesuatu pasti akan ada dampak negatif maupun positifnya. Dampak positif dari diberlakukannya CAFTA yang coba akan dikupas dalam tulisan ini, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kualitas produk lokal.
Jika kita perhatikan, kekhawatiran sebagian kalangan akan serbuan barang-barang dari luar, terutama China, difokuskan pada produk-produk yang dihasilan oleh merek-merek kurang terkenal dan/atau produk-produk dari kalangan usaha kecil dan menengah (UKM). Sementara fabrikan-fabrikan dari suatu merek terkenal tidak terlalu mengkhawatirkan tentang hal ini. Ambil contoh, kalangan industri otomotif. Beberapa waktu lalu mereka sempat khawatir akan serbuan motor-motor buatan China. Namun waktu jualah yang membuktikan bahwa produk berkualitaslah yang akan dibeli oleh konsumen. Hal ini bisa kita lihat dengan makin jarangnya motor-motor China yang beredar di jalan-jalan raya saat ini.
Banggakah kita dengan hal tersebut? Semestinya tidak. Karena industri otomotif kita tidak lebih dari sekedar kepanjangan tangan industri dari negara dimana merek terkenal tersebut berasal. Merekalah yang mendesain, menguji coba produk hingga siap dilemparkan ke pasaran. Merekalah yang membuat produk mereka menjadi berkualitas tinggi. Sementara industri otomotif nasional hanya sekedar merakit, mempromosikan dan menjual produknya di dalam negeri. Apapun yang berkaitan dengan kualitas produk ada di tangan industri dari negeri asal.
Bagaimana dengan industri lain yang benar-benar memproduksi, tidak hanya sekedar merakit? Seperti tekstil dan industri komponen otomotif oleh UKM. Nah, untuk jenis industri macam inilah kekhawatiran akan timbul. Industri lokal yang benar-benar memproduksi barang dari awal hingga akhir produk akan mulai was-was jika produk mereka nanti tidak laku karena kalah murah dan juga kalah kualitas. Kalah murah, karena tidak ada jaminan pasokan bahan baku berkualitas akan produk mereka serta harga bahan baku di pasaran yang fluktuatif. Kalah kualiatas, karena banyak kalangan industri di China yang menerapkan hasil penelitian para akademisi dan ilmuwan mereka. Disana, banyak hasil-hasil penelitian yang bisa langsung diterapkan oleh kalangan industri tanpa harus membayar apapun kepada peneliti. Pemerintahlah yang menjamin kelangsungan hidup para peneliti mereka, sehingga peneliti mereka fokus akan hasil penelitian yang bisa langsung diaplikasikan oleh kalangan industri. Sementara disini, ada jarak yang sangat lebar antara peneliti dengan kalangan industri. Mereka berjalan sendiri-sendiri dengan masalah mereka sendiri-sendiri. Tidak mudah bagi kalangan industri untuk dapat mengaplikasikan hasil penelitian para peneliti disini. Jarang ada komunikasi diantara keduanya. Banyak hasil penelitian yang hanya tersimpan rapi di lemari arsip tanpa pernah ada yang tahu apa bentuk temuan yang diperoleh oleh kalangan peneliti, kecuali diketahui oleh peneliti itu sendiri serta tim reviewer.
Jika hal ini terus berlangsung, maka tidaklah heran jika kualitas produk lokal akan terus kalah dengan kualitas produk impor. Kurangnya kemampuan berinovasi dan mengembangkan produk yang menjadi ganjalan utama dalam meningkatkan kualitas produk mereka. Tanpa adanya terobosan baru tidak akan terselesaikan masalah klasik ini.
Diberlakukannya CAFTA ini seharssnya menjadi momentum awal bagi kita semua untuk bersama-sama duduk mencari solusi jitu yang nyata untuk mengatasi permasalahan rendahnya kualitas produk lokal. Selain itu, diberlakukannya CAFTA diharapkan menjadi motivasi bagi kalangan industri untuk giat melakukan inovasi dan pengembangan produk mereka. Bukan malah menyerah dan mengalihkan usaha mereka dari memproduksi menjadi memasarkan produk-produk impor. Sudah terlalu banyak pedagang di negeri ini. Kita butuh industriawan yang tangguh dan mau terus mencoba dan mencoba agar produknya laku di pasaran. Rakyat butuh banyak industri manufaktur dimana mereka bisa bekerja dan berkarya. Makin banyak industri manufaktur di negeri ini akan makin banyak lapangan pekerjaan bagi rakyat. Tidak akan pernah menjadi negara maju negeri kita ini jika industri manufakturnya sangat sedikit. Kemajuan suatu negara dan masyarakat ditentukan oleh kuantitas dan kualitas dari industri manufakturnya, bukan dari kuantitas dan kualitas para pedagangnya.